Rabu, 25 Februari 2009

Pengembangan Wilayah Pesisir

Oleh : Dr Idwan

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
1. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai keunggulan komparatif dan berpotensi menjadi kompetitif. Letaknya secara geographis di daerah tropis dimana diapit oleh dua benua (Asia-Australia) dan dua samudera (Pacific dan India), serta pertemuan tiga lempeng besar di dunia (Eurasia, India-Australia, dan Pacific). Interaksi bio-geofisik menjadikan kepulauan Indonesia bukan hanya kaya akan potensi sumberdaya laut dan pesisir (hayati dan non hayati) dan jasa jasa lingkungan tapi juga menjadi salah satu pusat perhatian ilmuwan dunia dalam memahami fenomena alam di planet bumi ini. Dengan jumlah 17.508 pulau meliputi 81.000 km panjang garis pantai yang sangat bervariasi serta luas laut sekitar 3,1 juta km 2, sumberdaya laut dan pesisir Indonesia menjadi bagian yang sangat kompetitif di dunia.

2. Meskipun belum ada undang-undang yang mengatur sumberdaya alam khususnya sumberdaya laut dan pesisir, beberapa undang-undang secara explisit mengatur penggunaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya laut dan pesisir untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memuat ketentuan dasar bahwa sumberdaya alam dikuasai oleh Negara untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan undang-undang lain yang menyankut sektor pembangunan dan kaitannya dengan sumberdaya laut dan pesisir jelas mengisyaratkan selain untuk kepentingan ekonomi juga diperhatikan masalah kelestarian lingkungannya sebagaimana termuat pada UU No 5/1990, UU No 5/1994, dan UU No 23/1997 tentang Lingkungan Hidup dan Konservasi (DP2K, 2001).

3. Potensi sumberdaya laut dan pesisir seharusnya memberikan kontribusi yang penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebagian besar dari 60 cekungan sedimen Tersier di Indonesia sebagai sumber minyak dan gas bumi terletak di lepas pantai. Demikian pula dengan endapan sekunder (placer) dari timah, emas, mineral berat, pasir besi, dan bahan galian C (pasir) merupakan sumberdaya non hayati yang potential terletak pada beberapa daerah lepas pantai di Indonesia. Jenis ikan pelagis (kecil dan besar) dan demersal, udang, kerang-kerangan, ikan karang, ikan hias merupakan sumber perikanan yang banyak dijumpai di Indonesia beserta ekosistem pendukungnya seperti padang lamun, mangrove, dan terumbu karang merupakan sumberdaya hayati yang terbarukan. Lebih jauh, karakteristik pesisir dan laut yang bervariasi memberikan peluang berkembangnya jasa-jasa kelautan seperti pariwisata bahari, industri maritim dan energi terbarukan seperti thermal, wave, dan tide (DP2K, 2001). Pemanfaatan potensi sumberdaya non hayati (pertambangan), hayati (perikanan), dan jasa-jasa lingkungan kelautan di Indonesia berpotensi menjadi landasan kompetitif bangsa.

4. Pemanfaatan sumberdaya alam termasuk laut dan pesisir untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU sektor lainnya tidak tercapai. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir penduduk, menciptakan kesenjangan antara kelompok pengusaha kecil (tradisional) dengan pengusaha besar (komersial). Konflik sektoral dimana kebutuhan jangka pendek menjadi tujuan utama sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pemanfaatan dan kerusakan lingkungan yang harus dibayar (Dahuri, 2000). Pembangunan landasan pacu Ngurah Rai (Bali) adalah satu contoh bagaimana satu sektor pembangunan tidak mengindahkan sektor lainnya mengakibatkan kerugian akibat erosi/abrasi di pantai wisata Kuta. Pembabatan hutan mangrove dan perusakan habitat pesisir lainnya mengakibatkan penurunan produktifitas perikanan tangkap. Lebih jauh, pemahaman penguasaan sumberdaya pesisir dan laut antara masyarakat tradisional (hak ulayat) dengan ketentuan Negara (UU) sering tidak sejalan yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Kerusakan lingkungan akibat kepentingan jangka pendek dan ketidak pastian hukum yang jelas merupakan sumber konflik dalam pemanfaatn sumberdaya laut dan pesisir.

5. Globalisasi menjadikan dunia sebagai satu sistem yang mendapat perhatian bersama, karenanya pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir menyangkut masalah internasional. Untuk itu, Indonesia harus menjalani ketentuan-ketentuan (konvensi) yang telah disepakati, diantaranya adalah tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yaitu ‘Pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan aspirasinya’ (Bruntland Commission, 1986). Konvensi-kovensi yang disepakati oleh Indonesia adalah Ramsar, 1971; Marpol 1973/1978; Hukum laut 1992; Keanekaragaman hayati, 1992; dan Agenda 21 Global 1992. Lebih jauh munculnya ISO (9000 dan 14000) serta Ekolabeling (WTO) akan mempersulit persaingan pada pasar internasional (PPK-LK-ITB, 2000).

6. Pergeseran politik (kebijaksanaan publik) dari terpusat (desentralisasi) ke otonomi daerah (dekonsentrasi) melalui UU No. 22 Th 1999 tentang otonomi daerah dan UU No. 25 Th 2000 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah disatu sisi memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir menjadi lebih rasional (long term development) karena kewenangan diberikan sepenuhnya pada kebijakan daerah. Dilain pihak dikarenakan kebutuhan jangka pendek (tangible) untuk memenuhi pendapatan asli daerah (PAD), maka paradigma lama yang digunakan sebelumnya akan diaplikasikan kembali dengan pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir yang tidak terkendali yang pada akhirnya akan memperparah kondisi lingkungan sebelumnya. Karenanya penafsiran dan pelaksanaan kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah terhadap UU No.22/25 Th. 1999 khususnya pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir menjadi penting.

7. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di negara maju khususnya yang berhubungan dengan sumberdaya laut dan pesisir menggeser sikap (attitude) dari pengambil keputusan di negara bersangkutan. Pengalaman negara Inggris dalam ‘coastal defence’ sejak abad ke 19 (era Victorian) menyimpulkan bahwa bekerjasama dengan alam (‘working with nature’) dalam penanganan masalah erosi/abrasi menjadi keharusan. Karenanya pemahaman pergerakan sedimen dalam satu sistem sedimen tranport (sedimen sel) menjadi prasyarat dalam mengelola garis pantai dan hal ini dituangkan dalam kerangka kebijakan Pemerintah Inggris (MAFF, 1995). Lebih jauh, kebijakan yang lebih luas (caring, understanding, using wisely) dijadikan dasar kebijakan Pemerintah Australia dalam mengelola sumberdaya laut dan pesisir (Australia’s ocean Policy, 1999). Jelas, pemahaman (understanding) dari proses-proses bio-geofisik menjadi persyaratan utama dalam mengelola sumberdaya laut dan pesisir.

8. Kelemahan pendekatan terpusat (sentralistik) (top-down) yang menafikan keterlibatan masyarakat (stake holders) pada perioda terdahulu harus dibayar dengan apatisme masyarakat dan rusaknya lingkungan. Karenanya pemahaman dan keterlibatan ‘stake holders’ (participation/bottom-up approach) secara transparan dalam proses perencanaan pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir menjadi menjadi penting (Dahuri, 2000).

9. Belajar dari pengalaman pemanfaatan sumberdaya alam (termasuk sumberdaya laut dan pesisir) masa lalu, kebutuhan pembangunan pada masa kini dan akan datang (otonomi daerah), serta tekanan masyarakat International khususnya Agenda 21 tentang ‘sustainability development’, jelas bahwa pemanfaatan (exploitasi) sumberdaya laut dan pesisir tidak dapat dipisahkan dari aspek/dimensi ruang dan lingkungan. Lebih jauh rencana penataan ruang sebelumnya hanya terbatas pada tahap perencanaan ruang sedangkan pemanfaatan dan pengendaliannya masih kurang effektif. Karenanya dibutuhkan beberapa kebijakan (policies) beserta perangkatnya yang efektif mengenai pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir khususnya yang dapat digunakan oleh Pemerintah daerah. Pedoman penataan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil hanyalah salah satu perangkat yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran yang diinginkan yaitu pembangunan laut dan pesisir secara berkelanjutan.

10. Dasar pendekatan kerangka pedoman ini adalah mengenali bahwa kegiatan di darat dan laut memberikan dampak penting dan akan berakibat langsung pada produktifitas sumberdaya pesisir. Karenanya dalam jangka panjang dampak negatif tersebut tidak hanya berpengaruh pada produktifitas lokal tapi juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara nasional. Dampak yang teridentifikasi pada kawasan/wilayah pesisir diantaranya:
- degradasi dari sumberdaya alam
- degradasi habitat
- pencemaran
- konflik penggunaan tanah
- kerugian akibat bencana alam
- menurunnya tingkat kesehatan dan kwalitas kehidupan masyarakat.

11. Wilayah pesisir merupakan percampuran dari ‘micro-ecosystem’ yang saling berinteraksi secara kompleks. Interaksi dari pasang-surut, pulau penghalang, sand dunes, muara sungai, terumbu karang, hutan bakau, padang lamun dan kegiatan manusia di daratan dan laut akan mempengaruhi ‘sehat’ dan tidaknya kawasan pesisir. Pencemaran industri, ‘human waste’, pestisida, sedimentasi akibat pengelolaan hutan dan pertanian yang tidak tepat, dan pengembangan pesisir yang tidak terencana adalah beberapa contoh kegiatan di darat yang mempengaruhi langsung ekosistem wilayah pesisir. Lebih jauh, penambangan terumbu karang, penangkapan yang tidak terkontrol akan mengakibatkan berkurangnya potensi ekonomi sumberdaya pesisir.

12. Kebutuhan penataan ruang wilayah pesisir menjadi penting karena beberapa faktor yang kini dihadapi wilayah pesisir, diantaranya:
- tingginya pertumbuhan penduduk
- tingginya kompetisi pemanfaatan sumberdaya pesisir
- tidak tepatnya penempatan peruntukan di wilayah pesisir
- pemanfaatan ‘nearshore marine area’ yang tidak tepat
- rendahnya kesadaran dan kemampuan masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir
- terbatasnya kewenangan masyarakat lokal dalam pengelolaan wilayah pesisir.

13. Pedoman penataan ruang kawasan pesisir yang mudah dipahami dan melibatkan seluruh ‘stake holders’ menjadi kebutuhan yang mendesak. Pedoman tersebut dapat bersifat ‘voluntary’ ataupun ‘statutory’. Sekiranya pedoman tersebut dalam bentuk peraturan daerah, seyogyanya mengacu pada UU/PP yang telah ada. Hal ini menghindari kemungkinan konflik dengan sektor ataupun wilayah lain (Kompas, 7 September 2001).

1.2 RASIONAL, TUJUAN, DAN SASARAN

14. Rasional dari pedoman ini berdasarkan pada konsep pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, yaitu pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial sekarang ini harus juga mempertimbangkan kepentingan generasi mendatang. Sedangkan tujuan dari pedoman ini adalah memberikan informasi umum mengenai masalah-masalah, konsep-konsep dan pelaksanaan dalam penataan ruang pesisir dengan harapan dapat digunakan untuk pengembangan sumberdaya laut dan pesisir secara berkelanjutan. Sedangkan sasaran pengguna pedoman ini adalah Pemerintah Pusat/Propinsi/Kabupaten/Kota, masyarakat pesisir, dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM).

1.3. FUNGSI DAN MANFAAT PEDOMAN PERENCANAAN WILAYAH PESISIR

15. Pedoman ini berfungsi sebagai arahan bagi kebijakan Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dalam pemanfaatan ruang di wilayah pesisir secara berkelanjutan.
16. Manfaat pedoman ini adalah sebagai arahan Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota untuk pentuan lokasi investasi dan pembangunan di wilayah pesisir.

1.4. KERANGKA PEMIKIRAN

17. Penyusunan pedoman penataan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil didasarkan pada pengertian dasar dari wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang mencangkup beberapa aspek seperti batasan wilayah, karakteristik, tipologi, fungsi, paradigma, dan pendekatan perencanaan.
18. Didalam perencanaan Tata Ruang perlu memperhatikan hirarki rencana Tata Ruang Wilayah, kewenangan Otonomi Daerah dan landasan hukum lainnya, fungsi dan prinsip-prinsip dasar perencanaan, serta paradigma yang berkembang dan seharusnya diterapkan.

19. Berbagai masalah dan konflik yang timbul akibat berbagai kepentingan dari ‘stake holders’ perlu diformulasikan dalam suatu sistem dan prosedur untuk ditemukan pemecahannya melalui cara-cara tertentu.

BAB II REVIEW UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PEMERINTAH DAN MODEL-MODEL PENATAAN RUANG.

2.1 RENCANA PENATAAN RUANG BERDASARKAN UU No. 24/1992 DAN PP No.47/1997

20. Dasar pertimbangan disusunnya UU No.24/1992 tentang Tata Ruang, antara lain adanya potensi besar yang dimiliki negara Indonesia dikarenakan letak geografis, keanekaragaman sumberdaya alam dan kemampuan sumberdaya manusia. Potensi tersebut memerlukan suatu perlakuan yang terpadu agar didapatkan pemanfaatan yang optimal dan terjaga kelangsungannya.

21. Secara eksplisit UU No.24/1992 mengarahkan penataan ruang secara terpadu, berkelanjutan dan melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan tata ruang. Hal ini tertuang didalam asas UU tersebut pada Bab II pasal 2 (asas dan tujuan): ‘Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan’ . Sedangkan keterlibatan masyarakat dijumpai pada Bab III pasal 4 ayat (2) b, setiap orang berhak untuk: berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Demikian pula dengan Peraturan Pemerintah No. 47/1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang mengisyaratkan bahwa tujuan nasional pemanfaatan ruang selain untuk integrasi wilayah Nasional juga keseimbangan pemanfaatan ruang untuk kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan secara berkelanjutan (pasal 4). Jelaslah bahwa UU No.24/1992 dan PP No.47/1997 bernafaskan keterpaduan, berkelanjutan, dan keterlibatan masyarakat secara aktif

22. PP No.47/1997 memuat pola pemanfaatan dan struktur wilayah Nasional yang menggambarkan sebaran kawasan lindung, budidaya disertai kriteria dan pola pengelolaan kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan tertentu. Sedangkan kriteria kawasan budidaya ditetapkan berdasarkan kriteria teknis sektoral dan kriteria ruang yaitu ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan ruang untuk suatu kegiatan budidaya dalam kawasan menghasilkan nilai sinergi terbesar terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya dan tidak bertentangan dengan fungsi lingkungan hidup (pasal 44). Dengan kata lain, PP No.47/1997 tidak hanya memberikan peluang untuk kepentingan ekonomi (jangka pendek) tapi juga memperhatikan keberlanjutannya dalam jangka panjang.

23. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional pada PP No.47/1997 digunakan sebagai pedoman antara lain untuk penataan ruang wilayah Propinsi dan wilayah Kabupaten/Kota. Lebih jauh, meskipun wilayah pesisir secara explisit tidak dijumpai dalam UU No.24/1992 ataupun PP No.47/1997 namun demikian, wilayah pesisir mempunyai persyaratan kriteria kawasan tertentu sebagaimana dimuat pada pasal 55 (2). Dengan demikian pedoman Penataan Ruang Pesisir seyogyanya mengacu pada UU No.24/1992 dan PP No.47/1997.

24. Meskipun terpusat, UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang dan PP No.47/1997 tentang Rencana Ruang Wilayah Nasional merupakan perangkat peraturan yang ideal, namun demikian didentifikasikan bahwa masih dijumpai masalah-masalah sehubungan dengan penataan ruang (Soegijoko, 2001), diantaranya:
- masyarakat sebagai objek peraturan dan homogen
- rendahnya peranserta masyarakat dalam penataan ruang
- inkonsistensi
- tidak adanya komitmen bersama
- belum efektifnya penataan ruang sebagai alat pengembangan wilayah
- rendahnya kualitas sumberdaya manusia
- proses penyusunan RTR belum melalui prosedurnya semestinya.

2.2 PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM TERPADU

25. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dan issue-issue lingkungan di dunia menstimulasi pendekatan-pendekatan baru dalam perencanaan wilayah. Pendekatan berimbang antara kepentingan jangka pendek (ekonomi) dan jangka panjang (berkelanjutan) dijadikan pertimbangan yang penting seperti Integrated Natural Resource Management (INRM), Integrated Coastal Zone Management (ICZM). Demikian pula pendekatan yang melibatkan ‘stake holders’ dalam perencanaan (Bottom-up approach) menjadi suatu keharusan dalam perencanaan wilayah. Pendekatan perencanaan terpadu yang direkomendasikan melalui proses berjenjang meliputi: a natural resources management strategy plan, zoning plans, management plans, and action plans (NREM, 2001).

26. Dampak praktis dari strategi Provinsi (Provincial strategy) meyakini bahwa rencana strategi (Strategy Plan) menjadi pedoman dan sebagai prioritas dalam rencana zoning (Zoning Plan). Rencana zoning memberikan dampak ruang dari kebijakan strategi propinsi. Lebih jauh, rencana zoning juga memperlihatkan prioritas dan informasi yang dibutuhkan untuk rencana pengelolaan (Management Plan) yang juga sebagai kontrol dalam rencana zoning. Rencana pengelolaan memberikan kebijakan untuk area/sumberdaya/kegiatan yang telah ada pada strategi Propinsi dan mengidentifikasikan prioritas kepada rencana tindak (Action Plan). Rencana tindak memberikan umpan balik pada rencana pengelolaan. Rencana strategi memberikan pedoman formulasi, kontrol, dan penilaian dalam penganggaran pada rencana tindak. Rencana strategi memberikan hasil dari sasaran Nasional dan aspirasi lokal (NREM, 2001).

27. Dalam model perencanaan pengelolaan sumberdaya alam terpadu (INRM/ICZM) keterlibatan masyarakat (stake holders) dimulai sejak tahap awal memformulasikan tahapan Rencana Strategi (Strategic Plan) yang jelas meliputi:
- Pernyataan visi (Statement vision) yang berisikan keinginan politis, ekonomi, sosial, dan budaya, nilai-nilai dari penggunaan sumberdaya alam dan rencana tata ruang;
- Mengidentifikasi hambatan-hambatan internal dan external dalam menjadikan visi menjadi kenyataan;
- Pernyataan misi yang menjelaskan seperangkat keinginan dan fungsi dari penataan ruang dan bagaimana hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya dan perlindungan lingkungan;
- Analysis situasi yang mengidentifikasikan dan mengkaji peluang-peluang dan ancaman-ancaman dalam pengembangan;
- Pilihan-pilihan strategi yang memperlihatkan alternatif-alternatif yang ada dalam penggunaan sumberdaya yang akan dituangkan dalam penzonaan.

2.3. PENATAAN RUANG DALAM ERA OTONOMI DAERAH (Soegijoko, 2001).

28. Paradigma baru yang harus diterapkan dalam penataan ruang di era Otonomi Daerah adalah:
- perlunya memandang masyarakat sebagai subjek dengan keanekaragaman perilaku,
- pendekatan ‘bottom-up’ dan melibatkan seluruh ‘stake holders’,
- transparansi dalam keseluruhan prosesnya (perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian),
- memberikan perhatian pada kebutuhan (demand-driven) untuk jangka pendek,
- memperhatikan tuntutan dunia usaha dan masyarakat untuk dapat menjadi pedoman investasi,
- menjalankan prinsip pembangunan berkelanjutan.

29. Wewenang Pemerintah Pusat sesuai UU No.22/1999 dan PP No.25/2000 hanya berfungsi memberikan arahan dan kebijakan penataan ruang secara Nasional meliputi:
- penyusunan kebijakan umum seperti RTRWN, PP, dan Keppres,
- menyusun kebijakan teknis operasional seperti pembinaan, standarisasi, fasilitasi, kriteria umum, monitoring, dan supervisi.

30. Wewenang Pemerintah Daerah Propinsi lebih kepada fasilitasi dan koordinasi dari kegiatan penataan ruang meliputi,
1. Bidang Perencanaan:
- menetapkan kebijakan penataan ruang di tingkat Propinsi yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional (PPRM) secara makro dan RTRWP
- fasilitasi kegiatan perencanaan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota,
- mensosialisasikan pedoman dan standar teknis perencanaan
- penyusunan pedoman dan standar teknis berdasarkan karakteristik daerah Propinsi.
2. Bidang Pemanfaatan
- koordinasi program-program pembangunan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota
- fasilitasi program-program pembangunan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota yang dilakukan oleh swasta, masyarakat, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
3. Bidang Pengendalian
- melakukan pengawasan dan pemantauan serta evaluasi program pembangunan daerah Propinsi maupun program pembangunan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota.

31. Wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota meliputi:
- menyusun arahan, tujuan, dan kebijakan penataan ruang,
- merumuskan struktur dan proses-proses penataan ruang
- menentukan peraturan hukum mengenai produk dan proses penataan ruang,
- mengkaji dan mengesahkan rencana tata ruang kawasan-kawasan
- membuat sistem implementasi rencana tata ruang
- membentuk dukungan informasi untuk penataan ruang yang dilakukan oleh masyarakat maupun institusi pemerintah.

32. Adapun tantangan bagi penataan ruang dalam era otonomi daerah adalah:
1. Pengembangan visi secara bersama antara pemerintah dan masyarakat di daerah antara lain dalam merumuskan:
- wajah ruang masa depan
- standar kwalitas ruang
- aktifitas yang diinginkan dan dilarang pada suatu kawasan
- distribusi dan alokasi fasilitas umum
- sistem pengendalian pengembangan.
2. Pengembangan kerjasama antar daerah, misalnya dalam rangka menyelesaikan kegiatan/permasalahan yang meliputi lebih dari satu daerah.
3. Peningkatan koordinasi dalam rangka memadukan rencana-rencana tata ruang dan kebijakan pengelolaan sektor-sektor sumberdaya alam serta mengkoordinasikan hasil-hasil penataan ruang dengan program-program sosial ekonomi.
4. Pemantauan pemanfaatan dan perkembangan ruang, antara lain mencakup keefektifan sistem penataan ruang secara menyeluruh, kemajuan dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan, hubungan antara proses-proses perencanaan dan inisiatif pemanfaatan ruang, serta kesesuaian dari berbagai rencana tata ruang kawasan-kawasan.
5. Penyebarluasan informasi penataan ruang mencakup pemutahiran informasi tentang ruang, menyusun standar dan kaidah pengumpulan informasi, dan menyuguhkannya secara mudah kepada masyarakat.
6. Peningkatan peranserta masyarakat dalam penataan ruang.

2.4. PENGALAMAN/PELAJARAN YANG DIPEROLEH

33. Berdasarkan model-model perencanaan Tata Ruang dan Pengelolan Sumberdaya alam secara terpadu (INRM/ICZM) ditarik beberapa kesimpulan dan rekomendasi:
1. Pendekatan Penataan ruang berdasarkan perangkat UU dan Peraturan Pemerintah yang ada, meskipun pendekatannya bersifat sentralistik (top-down) dan secara explisit sangat baik (visioner) karena selain menjaga integritas wilayah nasional juga mengakomodir paradigma baru (keterlibatan ‘stake-holders’ dan berwawasan lingkungan/’sustainability’) namun masih berlaku secara umum dan berskala besar (1 : 1000.000). Sedangkan untuk perencanaan ruang pesisir tidak dijumpai secara explisit meskipun kawasan pesisir memenuhi kriteria sebagai kawasan tertentu. Lebih jauh, perangkat pengaturan (UU/PP) penataan ruang baru akan efektif bila diikuti oleh pemanfaatan ruang yang terkendali sesuai rencana. Pengamatan konten lingkungan dalam hubungannya dengan rencana penataan ruang wilayah dijumpai bahwa analisis yang dilakukan sangat minim (Adibroto, pers communication).
2. Model Pengelolaan sumberdaya alam secara terpadu (INRM) adalah bentuk ideal dalam memenuhi kebutuhan perencanaan ruang saat ini dan akan datang, namun dijumpai juga beberapa kelemahan. Ketersedian dan kualitas data dalam skala detail untuk perencanaan, kemampuan sumberdaya manusia lokal dan kesadarannya akan masalah lingkungan merupakan beberapa kendala yang serius dalam penerapan model ini. Perihal kurangnya kesadaran akan lingkungan (sustainability), bukan hanya terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, namun juga terjadi di Virgin island, USA (OCZM, NOAA, 1979).
3. Untuk penataan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil (coastal spatial plan) di Indonesia disarankan melalui pendekatan bertahap yang merupakan kombinasi dan ‘adjusment’ dari model-model tersebut diatas.

BAB III PENGERTIAN DASAR WILAYAH PESISIR

3.1. BATASAN WILAYAH PESISIR

34. Wilayah Pesisir ialah daerah pertemuan antara darat dan laut. Kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan (baik kering maupun terendam air) yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang-surut, angin laut,dan perembesan air asin; sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi baik oleh proses-proses alami yang terjadi didarat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia didarat sepert penggundulan hutan dan pencemaran.

35. Batasan diatas menunjukan bahwa garis batas nyata wilayah pesisir tidak ada. Batas tersebut hanyalah garis khayal yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Ditempat yang landai garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai, dan sebaliknya untuk wilayah pantai yang terjal.

36. Dalam perencanaan suatu wilayah pesisir penetapan batas wilayah mutlak diperlukan, hal ini disebabkan oleh karena akan:
- mendorong mekanisme keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengelolaan wilayah ( transparency and accountability),
- meminimalkan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir (conflict minimization),
- menjamin adanya kepastian hukum bagi pengelolaan wilayah pesisir yang sifatnya politis/administratif,
- menjamin pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan.

36. Penetapan batas wilayah pesisir dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek:
- potensi sumberdaya dan tingkat pemanfaatannya
- kesepakatan atas regulatory framework oleh seluruh stake holders pembangunan di wilayah pesisir
- sistim kelembagaan di daerah
- sistim pengawasan untuk pengendalian pemanfaatan ruang
- ketersediaan teknologi yang layak dan realistis.

37. Wilayah Pesisir mencakup: ……………estuaria, delta, goba (lagoon), terumbu karang (coral reef), hutan payau, lereng terjal (cliff), dan bukit pasir (sand dunes).

3.2. KARAKTERISTIK WILAYAH PESISIR

38. Merupakan wilayah percampuran pengaruh antara laut, darat, dan udara; bentuk wilayah ini merupakan hasil keseimbangan dinamis dari suatu proses penghancuran dan pembangunan dari ketiga unsur tersebut. Hal ini terlihat dari adanya gradasi butiran sedimen sebagai hasil pengikisan batuan padat dan keras oleh unsur alam.

39. Wilayah pesisir berfungsi sebagai zona penyangga (buffer zone) dan merupakan habitat dari berbagai jenis burung migran, serta habitat bagi berbagai jenis ikan dan udang. Wilayah ini memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan menjadi sumber zat organik yang penting dalam rantai makanan di laut. (natural coastal defence)

3.3. TIPOLOGI WILAYAH PESISIR

40. Klasifikasi wilayahpesisir dapat disusun berdasarkan berbagai kriteria seperti geomorphologi, energi input, ekosistem dsb. Berdasarkan ekosistemnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

- Ekosistem Terumbu Karang (Coral Reef).
Ekosistem semacam ini terdapat di perairan dangkal, terutama di daerah tropis. Terdapat beberapa persyaratan untuk terjadinya pertumbuhan terumbu karang yang baik seperti suhu, kedalaman, kejernihan, salinitas, gerakan gelombang, serta sirkulasi air. Namun demikian terumbu karang sangat sensitif terhadap perubahan fisik yang terjadi disekitarnya. Distribusi air tawar yang berlebihan akan mempengaruhi salinitas, demikian pula perubahan suhu, serta proses sedimentasi akan mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan terumbu karang disamping pestisida dan pencemaran lainnya. Peledakan bom untuk mendapatkan ikan, penambangan terumbu karang sebagai bahan baku akan mempengaruhi lahan pesisir dengan meningkatnya abrasi disepanjang pantai. Kegiatan pengrusakan terumbu karang merupakan ancaman yang serius terhadap ekosistem terumbu karang dikarenakan pertumbuhan dari karang yang lambat.
- Ekosistem Hutan Bakau (Mangrove)
Hutan bakau merupakan jenis tumbuhan yang spesifik tumbuh di perairan dengan salinitas tinggi. Jenis tumbuhan ini dapat berkembang secara maksimum pada perairan yang memiliki sirkulasi air permukaan terus menerus. Bakau dapat tumbuh dengan baik pada tanah berpasir, tanah lumpur, lempung, tanah berbatu dan sebagainya dan begantung pada sirkulasi air untuk memelihara pertumbuhannya. Namun demikian pertumbuhan bakau dapat dipengaruhi oleh adanya sedimentasi yang berlebihan, tumpahan minyak, dan tinggi rata-rata permukaan air. Keadaan ini dapat mengurangi kadar oksigin di dalam air yang akan menyebabkan kematian pada pohon bakau. Yang menjadi masalah pokok pada hutan bakau adalah adanya penebangan hutan untuk berbagai keperluan atau mengkonversi lahan ini menjadi lahan perumahan dan industri atau kegiatan lain seperti penambakan udang. Penanaman kembali lahan yang telah mengalami kerusakan tidak selalu mengalami keberhasilan oleh karena banyaknya penyebab seperti berubahnya kondisi dan karakteristik phisik lahan.
- Ekosistem Estuaria
Estuaria atau muara sungai merupakan ekosistem yang unik karena merupakan kawasan pertemuan antara air asin dan air tawar. Pemanfaatan estuaria oleh berbagai kegiatan manusia mengakibatkan degradasi dari lingkungan ini. Rendahnya kesadaran manusia akan fungsi estuari dengan memandang sungai sebagai media pembuangan berbagai limbah telah mengakibatkan terjadinya konsentrasi racun yang mampu untuk mematikan berbagai jenis ikan dalam jumlah yang besar. Pencemaran yang terus menerus menyebabkan hilangnya janis ikan dan berbagai kerang-kerangan di estuaria. Disinyalir bahwa kebanyakan organisme di estuaria hidup didekat batas-batas toleransinya, sehingga perubahan yang kecil sekalipun dari faktor lingkungan diperairan estuari akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme tersebut. Kerusakan ekosistem estuari seringkali disebabkan oleh perubahan yang terjadi di daerah hulu.

- Ekosistem Padang Lamun
Ekosistem ini merupakan areal kehidupan tumbuhan dan biota laut yang memiliki persyaratan phisik yang spesifik. Maksimum kedalaman ekosistem ini adalah 20 m, tingkat intensitas masuknya cahaya matahari yang tinggi, serta sirkulasi air yang baik dan kontinyu sebagai pembawa nutrient dan sisa metabolisme. Permasalahan pada beberapa lokasi padang lamun adalah akibat kegiatan manusia seperti pengerukan, reklamasi, ataupun pembuangan limbah. Demikian pula dengan masuknya air tawar secara berlebihan akan menyebakan punahnya ekosistem ini. Berbeda dengan ekosistem bakau, ekosistem padang lamun tidak tampak secara nyata sehingga kepedulian terhadap ekosistem ini sangat menghawatirkan. Hilangnya ekosistem padang lamun dalam suatu kawasan seringkali hanya diketahui melalui informasi nelayan setempat.

41. Berdasarkan sedimen transport sistem yang mengacu pada proses interaksi antara sedimen (geologi) dan energi gelombang yang menggerakan sedimen tersebut (wave climate), pantai di Indonesia dikelompokan secara umum sebagai berikut (Suhardi, 2000):
- Pantai berpasir (beach) dan cliff. Pantai jenis ini dicirikan dengan DAS yang kecil pada daratan diatasnya dan berhadapan dengan rezim energi yang besar (swell). Dijumpai dalam bentuk ‘pocket beach’, ‘straight beach’ ataupun pantai terjal (cliff). Dicirikan dengan sedimen pasir kasar berkomposisi fragmen batuan/mineral yang berasal dari DAS diatasnya ataupun abrasi ‘cliff’. Pada beberapa tempat didominasi oleh fragmen-fragmen hasil rombakan terumbu karang pada ‘nearshore’ area menjadikan pasir pantai berwarna putih. Di Indonesia, pantai jenis ini tersebar pada pantai-pantai yang berhadapan dengan samudra seperti disebelah Barat Sumatera, Selatan Jawa dan Nusa Tenggara serta di Utara Papua dan Maluku.
- ‘Sheltered coast’. DAS yang besar merupakan pensuplai sedimen utama dari jenis pantai ini sedangkan sebagai penggeraknya (gelombang) didominasi oleh angin lokal (fetch limited). Dicirikan dengan sedimen pasir halus-lempung berwarna gelap merupakan hasil rombakan batuan pada DAS diatasnya. Umumnya dijumpai dalam bentuk delta, estuari, ataupun ‘straight beach’. Tersebar pada pulau-pulau besar yang berhadapan dengan ‘inner water’ dari Kep. Indonesia seperti pantai Timur Sumatera, Kalimantan, Utara Jawa, dan sebelah Barat dan Selatan Papua.
- Pantai Pulau-pulau kecil. Jenis pantai ini mempunyai kharakteristik khusus. Suplai sedimen yang terbatas karena DAS yang relatif kecil ataupun sebagai sumber sedimen utamanya adalah terumbu karang dan atau erosi dari ‘cliff’. Karena letaknya yang bervariasi maka rezim energi yang berhadapan dengan pantai inipun beragam. Komposisi sedimen sangat tergantung pada batuan penyusun pulau tersebut dan keberadaan ‘coral reef’ di ‘nearshore’. Pantai-pantai di Kepulauan Riau, Mentawai dan Pulau-Pulau di Indonesia Timur termasuk dalam kategori ini.


3.4. ZONING DI WILAYAH PESISIR

42. Zona merupakan kumpulan dari batas-batas wilayah yang dapat dikelola (manageable). Hal ini bisa saja merupakan kesatuan wilayah administrasi (political boundary) ataupun kesatuan wilayah ekosistem (natural boundary). Batas ideal dalam penataan ruang wilayah pesisir jika batas administratif sama dengan batas ekosistem, namun demikian hal tersebut sangat sulit dijumpai. Batas-batas dari zona tersebut hendaknya jelas, teridentifikasi dan mudah dimengerti oleh masyarakat setempat ataupun investor yang akan mengajukan kegiatan di wilayah tersebut.

43. Skema penataan ruang pesisir biasanya meliputi zona-zona sebagai berikut:
- Zona 1 (Laut dan perairan pantai-Marine and coastal waters). Zona ini meliputi bagian dari laut terbuka sampai dengan titik dimana pengaruh langsung terhadap sumberdaya pesisir adalah minimal. Dalam kasus kelompok pulau-pulau kecil, zona 1 meliputi semua laut terbuka yang mengelilingi pulau tersebut sampai dengan zona 2 (transisi) pulau lainnya dalam kelompok tersebut. Zona ini merupakan bagian luar dari Zona 2 (Transisi).
- Zona 2 (Transisi area). Zona ini meliputi ‘nearshore waters’ sampai ke darat yang mencakup seluruh wilayah pasang-surut dan hutan bakau, pantai berpasir (beach) dan wilayah yang secara reguler terendam banjir. Zona ini juga meliputi ‘wetlands’, terumbu karang, padang lamun, dan habitat sensitif lainnya.
- Zona 3 (Daratan pesisir). Zona ini meliputi daratan yang berhadapan langsung dengan zona transisi dan memberikan dampak langsung kepada sumberdaya pesisir. Zona ini biasanya merupakan daerah yang dikembangkan untuk pemukiman dan industri karenanya memberikan dampak pencemaran yang tinggi.
- Zona 4 (Daratan atas-hinterland). Zona ini meliputi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan wilayah pertanian dan pedesaan dan berpotensi memberikan dampak pada sumberdaya pesisir. Human waste, pestisida, sedimentasi, dan perubahan aliran air sangat berpotensi memberikan dampak pada sumberdaya pesisir. Daratan pada daerah ini bukan merupakan fokus utama dalam penataan ruang pesisir, namun demikian koordinasi dengan sektor terkait, organisasi masyarakat secara terpadu dapat meminimalkan dampak pada wilayah pesisir.

3.5. LANDASAN KEBIJAKSANAAN

44. Perencanaan sumberdaya alam di laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil tidak terlepas dari landasan hukum nasional yaitu UUD 1945 pasal 33, ayat 3: ‘Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’. Tersirat bahwa pengertian dasar yang berkaitan dengan sumberdaya alam termasuk sumberdaya di wilayah pesisir harus dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan masyarakat luas.

45. Perencanaan wilayah pesisir berpedoman pada Garis Besar Haluan Negara (GBHN, 1999) yang pada prinsipnya menekankan perlunya pemanfaatan sumberdaya alam secara rasional dan tidak merusak lingkungan hidup sehingga harus dilaksanakan dengan kebijaksanaan penataan ruang yang menyeluruh bagi kegiatan yang akan dialokasikan.

46. Undang-Undang No.24/1992 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah No.47/1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional tersurat bahwa wilayah Nasional terbagi habis atas kawasan lindung, budidaya, dan kawasan tertentu. Meskipun secara explisit tidak dijumpai perencanaan wilayah pesisir, wilayah pesisir termasuk kedalam kriteria pola pengelolaan Kawasan Tertentu, maka dasar perencanaan nya dapat mengacu pada Peraturan Pemerintah tersebut (pasal 55).

47. Wilayah Pesisir memenuhi kriteria kawasan tertentu, yaitu:
- kawasan pesisir mempunyai potensi sumberdaya alam yang besar dan berpengaruh terhadap pengembangan aspek ekonomi, demografi, politik, pertahanan dan keamanan, serta pengembangan wilayah sekitarnya;
- kawasan pesisir mempunyai skala kegiatan produksi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang besar serta kegiatannya berdampak besar dan penting terhadap wialayah bersangkutan, wilayah sekitarnya, dan wilayah negara;
- kawasan pesisir memiliki faktor pendorong besar bagi peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat baik di wilayah yang bersangkutan maupun di wilayah sekitarnya;
- kawasan pesisir mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional, regional, ataupun lokal;
- kawasan pesisir mempunyai posisi strategis serta kegiatannya berdampak besar dan penting terhadap kondisi politis dan pertahan keamanan nasioanl serta regional.

48. Pola pengelolaan kawasan tertentu/pesisir dapat mengacu pada PP No47/1997 pasal 56, 57, 58, 59, dan 60; diantaranya “perlu disusun rencana tata ruang kawasan tertentu/pesisir dengan memperhatikan keterpaduannya dengan RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota” (pasal 58, ayat 1). Adapun penyusunan rencana tata ruang kawasan tertentu/pesisir dikoordinasikan oleh Menteri (pasal 58, ayat 2).

49. Berbagai Undang-Undang dan PP lainnya yang berhubungan dengan kepentingan umum dan sektor merupakan landasan operasional dalam perencanaan wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

IV. PENGERTIAN DASAR PERENCANAAN

4.1. DEFINISI PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH

50. - Ruang adalah bagian/unsur lingkungan hidup yang merupakan wadah bagi
manusia dan mahluk hidup lainnya untuk melakukan kegiatan dan kelangsungan hidupnya.
- Tata Ruang adalah wujud struktural pemanfaatan ruang suatu wilayah baik direncanakan ataupun tidak yang menunjukan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang.
- Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang
- Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang
- Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
- Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya.
- Kawasan tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan.

51. Penataan Ruang secara substansi meliputi tiga tahapan
- perencanaan Tata Ruang, yaitu proses penyusunan rencana tata ruang terutama penentuan lokasi produksi, pusat pemukiman, prasarana pendukung (kawasan lindung ?).
- pemanfaatan ruang, yaitu tahapan penjabaran rencana tata ruang kedalam bentuk program pengembangan dan kerangka waktu pelaksanaan.
- pengendalian pemanfaatan ruang meliputi pengawasan dan penertiban agar pemanfaatan ruang dapat terlaksana sesuai dengan rencana tata ruang.

52. Perencanaan tata ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses penyusunan rencana tata ruang dalam batas area perencanaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang merupakan arahan kebijaksanaan dan peruntukan (alokasi) pemanfaatan ruang yang secara struktural menggambarkan ikatan fungsi lokasi terpadu bagi berbagai kegiatan untuk pembangunan berkelanjutan.

53. Perencanaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mengacu kepada Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK/Kota) dan merupakan tindak lanjut pendalaman dari materi umum RTRWP dan RTRWK/Kota yang secara operasional seharusnya dapat disesuaikan dengan paradigma baru khususnya tentang pembangunan berkelanjutan dan keterlibatan masyarakat (stake holders) dalam proses perencanaan Tata Ruang.

4.2. HIRARKI PERENCANAAN

54. Sesuai UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang, hirarki penataan ruang dimulai pada tingkat Nasional, Propinsi, sampai Kabupaten/Kota. Muatan dan penggunaan ketiga rencana ini secara umum adalah sebagai berikut:
1. Pada tingkat Nasional dikenal Rencan Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang memuat strategi kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara dan memperlihatkan kawasan potensial, kawasan yang dilindungi, sistem kota, sistem prasarana, dan sistem transportasi. Rencana ini sebagai acuan spasial terhadap pengembangan kawasan-kawasan, sistem prasarana, dan sistem transportasi yang selanjutnya digunakan untuk mewujudkan strategi-strategi sektor dan sinkronisasi prioritas pengembangan. Kedalaman peta yang menyajikan informasi ini adalah 1:1.000.000.
2. Pada tingkat Propinsi disebut sebagai Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), berupa arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang Propinsi yang meliputi arahan pengelolaan kawasan (lindung, budidaya, dan kawasan tertentu); arahan pengembangan kawasan potensial, sistem pusat pemukiman, pedesaan, dan perkotaan, sistem prasarana wilayah, dan kawasan prioritas; arahan kebijaksanaan tata guna tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya. Rencana ini digunakan sebagai acuan untuk pengembangan dan koordinasi antar kabupaten/kota. Kedalaman peta yang menyajikan informasi pada tingkat ini adalah 1:250.000.
3. Pada tingkat Kabupaten/Kota disebut sebagai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kabupaten/Kota), berupa strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kota yang memperlihatkan pengelolaan kawasan (lindung, budi daya, perdesaan, perkotaan, tertentu), pengelolaan sistem (kegiatan pembangunan, pemukiman, perdesaan,dan perkotaan, prasarana wilayah, dan transportasi), serta penatagunaan tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya. Rencana ini berfungsi sebagai pedoman umum program-program pembangunan pada skala Kabupaten/Kota. Sedangkan pengaturan lebih rinci pada blok-blok kawasan dan bangunan diatur pada Rencana Detail dan Rencana Teknis. Kedua produk terahir menjadi dasar pemberian ijin kawasan dan bangunan. Kedalaman peta yang menyajikan informasi tersebut diatas adalah: RTRW Kabupaten skala 1:100.000 sampai 50.000, RTRW Kota antara 1:50.000 sampai 1:10.000, Rencana Detail antara 1:5000 sampai 1000.

55. Selain penataan ruang yang berorientasi pada cakupan wilayah administratif, terdapat pula penataan ruang yang berorientasi terhadap fungsi kawasan, seperti penataan ruang kawasan pedesaan, ataupun penataan ruang tertentu. Penataan ruang wilayah pesisir dapat dikategorikan pada tingkat ini. Didalam pedoman ini Kawasan Pesisir adalah kawasan yang meliputi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi zona 1 sampai dengan zona 4.

4.3. PRINSIP-PRINSIP DASAR YANG DIGUNAKAN DALAM PERENCANAAN
TATA RUANG KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

59. Selain azas-azas normatif yang dimuat dalam Pedoman Penyusunan RTRWP/RTRWK (Dit. Tata Ruang Nasional, 2001), dalam penyusunan rencana tata ruang kawasan tertentu/pesisir digunakan pula prinsip-prinsip dasar/azas sebagai berikut:
- Digunakannya pengetahuan terkini (to use the best knowledge available) dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir menjadi signifikan guna menghindari/mengantipasi dampak yang akan terjadi. Sebagai contoh, sejak erosi/abrasi diketahui dikarenakan kurangnya suplai ke dalam suatu sedimen transpor sistem (sediment cell), maka sedimen sel digunakan sebagai unit managemen dalam pengelolaan garis pantai di Inggris (MAFF, 1995). Pemahaman fungsi mangrove/coral reef sebagai natural coastal defence akan sangat bermanfaat menghindari dampak erosi/abrasi yang akan ditimbulkan dalam mengexploitasi sumberdaya pesisir. Penggunaan ilmu pengetahuan terkini akan membantu menghindari/mengantisipasi dampak yang tidak diinginkan.
- Kawasan pesisir merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan seperti pasang surut; ataupun wilayah laut yang dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi dan pencemaran. Karenanya prinsip penggunaan batas-batas ekologis (natural boundary priciple) seperti daerah aliran sungai (DAS) ataupun sedimen sell seharusnya dipertimbangkan dalam merencanakan pengembangan wilayah pesisir. Kegagalan budidaya perikanan pada satu muara/pantai dapat terjadi dikarenakan penempatan ruang dari suatu industri yang membuang limbah memalui DAS dihulunya. Demikian pula pembuatan ‘jetty/groin’ tegak lurus dari arah sedimen drift akan menyebabkan akresi pada ‘up drift’ dan erosi/abrasi di bagian ‘down drift’. Hubungan keruangan dalam satu batas ekologis (natural boundary) akan mempengaruhi peruntukan penggunaan ruang.
- Perencanaan pemanfaatan ruang pada wilayah pesisir seharusnya saling berhubungan secara fungsional (compatible use principle). Dengan demikian peruntukan satu kegiatan seharusnya tidak merugikan kegiatan lainnya atau sebaliknya. Misalnya penempatan ruang untuk budidaya mutiara yang memerlukan kriteria khusus secara lingkungan seharusnya ditempatkan pada daerah/zona konservasi dan tidak berdekatan dengan peruntukan industri ataupun zona intensif lainnya.
- Penempatan kegiatan ruang pada wilayah pesisir seharusnya diprioritaskan untuk kegiatan-kegiatan yang sangat bergantung pada penggunaan air laut (dependent use principle) seperti pelabuhan dan fasilitas marina, resort hotel dan fasilitas terkait (NOAA, 1979). Sedangkan peruntukan lainnya sebaiknya tidak pada garis pantai sebagaimana terdapat di kota Manado (Knight, pers communication).
- Precautionary principle. Sering dijumpai suatu kondisi dimana keputusan harus diambil dalam pengembangan kawasan pesisir, sedangkan pemahaman (knowledge) terhadap dampak kegiatan di wilayah pesisir belum dikuasai. Untuk kasus demikian, keputusan tidak populer (konservatif) harus dilakukan sampai pemahaman dan data yang dibutuhkan tersedia.
- Pendekatan yang dilakukan dalam proses perencanaan tata ruang wilayah pesisir dan laut sebaiknya menggunakan metoda partisipatif, transparant, dan berbasis masyarakat. Melibatkan seluruh ‘stake holders’ (Pemerintah, swasta, masyarakat, LSM, dan Universitas); hak adat/tradisional harus diadopsi (Dahuri, 2000).
- Dalam pemanfaatan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, perangkat insentif dan disinsentif sebagaimana tertuang pada pasal 16 (1) UU No. 24 1992 dapat dilaksanakan. Perangkat insentif adalah pengaturan yang bertujuan memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan tujuan rencana tata ruang, baik ekonomi maupun phisik. Sebaliknya perangkat disinsentif adalah pengaturan yang bertujuan membatasi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, misalnya dalam bentuk pajak yang tinggi atau ketidaktersediaan sarana dan prasarana.
- Karena batas ekologis (natural boundary) sering tidak sama dengan batas administrasi (wilayah perencanaan) maka diperlukan pengaturan khusus yang mencakup kepentingan administrasi (protokol).


4.4. RUANG LINGKUP PERENCANAAN
60. Ruang lingkup perencanaan wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil dalam pedoman ini adalah termasuk dalam kategori Kawasan Tertentu sebagaimana UU No. 24/1992 dan PP No.47/1997. Dengan demikian meskipun batas ekosistem sebagai dasar perencanaan, batas wilayah administrasi Kabupaten/Kota digunakan sebagai batas perencanaan tata ruang yang secara hukum dapat dikelola.

BAB V PROSES PENYUSUNAN RTRW PESISIR KABUPATEN/KOTA (diadopsi dari Dit. Penataan Ruang Nasional, 2001).

5.1 PENGUMPULAN SERTA PENGOLAHAN DATA DAN INFORMASI

61. Data dan informasi dibutuhkan untuk mengidentifikasikan kondisi eksisting (existing condition) kawasan pesisir dan kecenderungan perkembangannya. Sebaiknya, data dan infomasi berdasarkan pada runtun waktu (time series) selama sepuluh tahun terahir meliputi:
1. Kebijaksanaan pembangunan, meliputi tujuan, sasaran, dan strategi yang telah mempertimbangkan tantangan, kendala dan peluang pembangunan daerah Kabupaten/Kota, arahan dan target pembangunan nasional, propinsi dan sektoral serta rencana masyarakat/swasta.
2. Kondisi sosial ekonomi, meliputi struktur/ciri-ciri ekonomi Kabupaten/Kecamatan, pangsa ekonomi sektor-sektor unggulan, dan peranannya terhadap pertumbuhan Kabupaten/Kecamatan.
3. Kependudukan, meliputi jumlah dan struktur penduduk, sebaran dan pertumbuhan penduduk, mobilisasi, migrasi serta kecenderungan perkembangannya.
4. Sumberdaya buatan,meliputi kinerja dan kebijaksanaan yang berkaitan dengan sarana dan prasarana tranportasi, pengairan, telekomunikasi, kelistrikan, serta sarana dan prasarana penunjang lainnya.
5. Sumberdaya Alam, meliputi hak dan sebaran sumberdaya tanah/lahan, hutan, air, mineral dan migas, dan sumberdaya alam lainnya.
6. Kondisi fisik lingkungan. Selain aspek topografi, morphologi, geologi tata lingkungan, hidrologi, vegetasi, dan klimatologi; perhatian khusus diberikan pada aspek-aspek bio-geo-phisik pesisir meliputi hidro-oseanografi, sedimentologi, dan marine biologi, serta proses-proses interaksi dari variabel tersebut.

5.2 ANALISIS WILAYAH/ZONING PESISIR

62. Perencanaan tata ruang Kawasan Pesisir dengan menggunakan pendekatan wilayah/zoning membutuhkan serangkaian analisis wilayah untuk memahami karakteristik unsur-unsur pembentuk ruang/zoning, hubungan sebab akibat terbentuknya ruang wilayah/zoning serta fenomena yang terjadi.

63. Analisis Kebijaksanaan Pembangunan. Analisis ini dimaksudkan untuk memahami arahan kebijaksanaan pembangunan wilayah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan kedudukannya dalam perspektif kebijaksanaan pembangunan nasional dan propinsi. Hal ini dimaksudkan guna melihat peranan wilayah kabupaten dalam pembentukan pola dan struktur ruang regional dan nasional, serta hubungannya dengan kawasan pesisir.

64. Analisis demografi dan sosial masyarakat. Analisis ini dimaksudkan untuk memahami aspek kependudukan terutama yang memiliki pengaruh timbal balik dengan pertumbuhan perkembangan sosial ekonomi dan lingkungan di kawasan pesisir. Dari analisis ini diharapkan dapat diidentifikasi struktur dan kwalitas sumberdaya manusia, karakteritik masyarakat setempat, kecenderungan perkembangan, kendala dalam pengembangan, serta potensi yang dapat dikembangkan.

65. Analisis ekonomi. Dimaksudkan untuk memahami karakteristik perekonomian
wilayah dan ciri-ciri ekonomi kawasan seperti pertumbuhan, kesempatan kerja, disparitas pertumbuhan dan perkembangan antar kawasan dan daerah serta hubungannya dengan kawasan pesisir.

66. Analisis daya dukung lingkungan. Dimaksudkan untuk memahami potensi, kondisi, tingkat pemanfaatan sumberdaya alam, dan hubungannya dengan lingkungan kawasan pesisir, khususnya interaksi antar variable bio-geo-phisik .

67. Analisis Sumberdaya Alam. Dimaksudkan untuk memahami penyebaran serta faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi dan distribusi pemanfaatan, kecenderungan masyarakat/swasta dalam penguasaan sumberdaya alam; bentuk-bentuk penguasaan dan pemanfaatan yang dilakukan masyarakat; bentuk-bentuk interfensi pemerintah dalam pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam. Analisis ini akan memberikan identifikasi kawasan berfungsi lindung dan budidaya dan hubungannya dengan lingkungan di kawasan pesisir.

68. Analisis Sumberdaya Buatan. Dimaksudkan untuk memahami kondisi, tingkat pemanfaatan, dan potensi sarana dan prasarana wilayah. Analisis ini akan memberikan identifikasi sistem pemukiman, sistem prasarana transportasi, sistem prasarana pengairan, sistem pengelolaan lingkungan dan hubungannya dengan lingkungan di kawasan pesisir.

5.3 PERUMUSAN MASALAH PEMBANGUNAN DAN PEMANFAATAN RUANG

71. Perumusan masalah pembangunan dan pemanfaatan ruang dilakukan dengan mempergunakan data dan informasi yang diperoleh dari dari hasil analisis wilayah, yaitu:
- Arahan kebijaksanaan pembangunan dan arahan pengembangan pemanfaatan ruang.
- Potensi pengembangan wilayah meliputi aspek sosial ekonomi, kondisi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.
- Potensi keberlanjutan sumberdaya pesisir.

72. Arahan kebijaksanaan pembangunan merupakan aspek keruangan dari tujuan dan sasaran pembangunan politik, sosial ekonomi, budaya, hankam, dan lingkungan di wilayah kabupaten yang bersangkutan. Sedangkan arahan pengembangan berfungsi untuk memberi petunjuk mengenai tujuan dan strategi pengembangan tata ruang serta prioritas penanganan kawasan dengan memperhatikan kebijaksanaan di tingkat nasional.

73. Perumusan masalah dilakukan dengan membandingkan sasaran pembangunan yang akan dicapai dengan kondisi struktur dan pola pemanfaatan ruang yang ada serta memperhatikan potensi pengembangan dan keberlanjutannya.

74. Aspek yang ditinjau dalam perumusan masalah pembangunan dan pengembangan wilayah adalah:
- Aspek ekonomi. Masalah perekonomian secara wilayah dikaitkan dengan pengembangan dan pertumbuhan perekonomian daerah serta membandingkan dengan tujuan/sasaran pembangunan ekonomi daerah. Sedangkan masalah wilayah dilihat dari dimensi ekonomi terkait dengan konflik penggunaan lahan untu kegiatan pengembangan sektor. Adanya keterkaitan yang erat antara faktor demografi dengan ekonomi. Masalah kependudukan meliputi masalah struktur, sebaran, pergerakan, dan pertumbuhan penduduk, kualitas sumberdaya manusia, dan masalah ketenagakerjaan yang berkait dengan potensi, daya dukung lingkungan, dan tujuan pembangunan kabupaten.
- Aspek Lingkungan. Adanya pergeseran norma (pembangunan berkelanjutan) terhadap dampak dari meningkatnya intensitas kegiatan sosial ekonomi yang mengakibatkan pencemaran dan pengrusakan lngkungan.
- Aspek pemanfaatan ruang. Meliputi masalah fungsi, hirarki, dan keterkaitan antara pusat pemukiman, kawasan produkisi, kawasan lindung, kawasan pesisir maupun benturan kepentingan dalam pemanfaatan ruang.


5.4 PERUMUSAN KONSEP DAN STRATEGI TATA RUANG WILAYAH

75. Konsep pengembangan tata ruang wilayah pesisir kabupaten (RTRWPK) dirumuskan melalui pendekatan konsepsional yang digambarkan dalam bentuk kerangka pikir yang menjabarkan hubungan sebab akibat diantara aspek-aspek penataan ruang (proses dan produk). Agar konsep tersebut dapat dioperasikan, perlu dirumuskan strategi pengembangan tata ruang melalui pendekatan:
- pertumbuhan dan perkembangan ekonomi;
- pemenuhan kebutuhan dasar;
- konservasi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

76. Perumusan strategi tata ruang wilayah pesisir kabupaten/kawasan pesisir merupakan langkah-langkah kebijaksanaan yang berkaitan dengan aspek pengembangan tata ruang wilayah pesisir kabupaten/kawasan pesisir meliputi:
- Kejelasan kebijaksanaan dan cara-cara penetapan dan pengelolaan masing-masing kawasan.
- Kejelasan pengembangan kawasan strategis atau yang diprioritaskan pengembangannya selama jangka waktu rencana.
- Keterkaitan antara program-program di suatu kawasan strategis/prioritas dengan fungsi kawasan tersebut dalam wilayah kabupaten.
- Kejelasan mengenai rencana penunjang penataan ruang untuk mewujudkan struktur dan pola pemanfaatan ruang.
- Keterkaitan antar struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang bersangkutan dengan yang berbatasan.
- Kejelasan mengenai konservasi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

5.5 PERUMUSAN RTRW PESISIR

77. Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten/Kawasan Pesisir memuat tiga bagian utama:
1. Tujuan serta rencana struktur pola pemanfaatan ruang wilayah Pesisir Kabupaten/ kawasan pesisir.
2. Rencana umum tata ruang wilayah pesisir Kabupaten/kawasan pesisir.
3. Pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.

78. Tujuan pemanfaatan ruang wilayah pesisir kabupaten/kawasan pesisir adalah untuk meningkatkan keseimbangan antara kesejahteraan masyarakat dan lingkungan; sebagai pedoman untuk kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang; mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah/kawasan.

79. Rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah pesisir kabupaten meliputi:
- Deleniasi batasan ekosistem.
- Rencana penggunaan ruang untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya.
- Deleniasi wilayah pesisir sebagai kawasan perkotaan dan pedesaan.
- Sistem kegiatan pembangunan dan sistem pemukiman perkotaan dan pedesaan.
- Sistem prasarana wilayah.

80. Rencana umum tata ruang wilayah pesisir meliputi:
- Rencana pengelolaan kawasan lindung dan budidaya yang dijelaskan secara spasial pada peta dengan tingkat ketelitian 1 : 100.000 s/d 1 : 50.000.
- Rencana pengelolaan kawasan pedesaan dan perkotaan yang ditekankan pada ketentuan dan arahan pengembangannya. Rencana pengelolaan ini menjelaskan fungsi dan kegiatan utama kawasan perkotaan/perdesaan serta keterkaitannya.
- Rencana kawasan yang diprioritaskan terutama kawasan lindung dan kawasan
pesisir yang bermasalah. Kawasan tersebut merupakan kawasan yang dianggap perlu diutamakan pengembangan atau penanganannya serta memerlukan dukungan penataan ruang segera dalam kurun waktu rencana.
- Rencana pengaturan, penggunaan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah, air,
udara, dan sumberdaya alam lainnya.

81. Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten/Kawasan Pesisir meliputi mekanisme penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan sumberdaya alam secaraberkelanjutan, yaitu pengaturan pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam melalui penjabaran rencana dalam penyusunan program pembangunan, pengaturan lokasi kegiatan yang dilakukan, pencegahan terjadinya kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dengan merujuk pada perangkat peraturan yang berlaku.

82 Mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang berisi uraian tentang ketentuan yang terkait dengan pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang sehingga dapat menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang, meliputi:
- Pemantauan pemanfaatan ruang, merupakan kegiatan pengumpulan data tentang
kegiatan pemanfaatan ruang yang dilakukan pemerintah, masyarakat, dan swasta serta perubahan perwujudan tata ruang.
- Peninjauan kembali (review), merupakan kegiatan penetapan perlu tidaknya
dilakukan peninjauan kembali berdasarkan hasil evaluasi RTRWK Pesisir.
- Penertiban pemanfaatan ruang, merupakan tindakan pemeriksaan dan
penyelidikan atas semua pelanggaran/penyimpangan dalam pemanfaatan ruang.

BAB VI TATA CARA PENYUSUNAN RTRWK PESISIR

6.1. ASPEK-ASPEK YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PENYUSUNAN
RTRW PESISIR KABUPATEN

82. Aspek teknis sektoral. Perencanaan tata ruang dilakukan untuk mengubah kondisi tata ruang pesisir saat ini menuju perspektif dimasa yang akan datang yaitu pembangunan berkelanjutan. Setiap komponen dikaji terlebih dahulu berdasarkan pendekatan model analisis yang berbeda serta dengan menggunakan standar dan kriteria teknis sektor yang berbeda pula. Karenanya kebijaksanaan teknis sektoral menjadi penting dalam penyusunan RTRWK Pesisir.

83. Aspek teknis ruang. Perencanaan tata ruang wilayah merupakan upaya untuk mengoptimasikan pemanfaatan ruang melalui peningkatan efektifitas dan efisiensi pemanfaatan ruang, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan dengan tetap memperhatikan kelestarian, keberlanjutan, dan kualitas lingkungan kawasan pesisir.

84. Penetapan ruang dilakukan untuk meningkatkan kualitas ruang agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Disamping mengarahkan pemanfaatan ruang, juga dengan memadukan kebijaksanaan politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam, dan lingkungan dengan pemanfaatan ruang.

6.2. PROSES PENYUSUNAN RTRW PESISIR KABUPATEN

85. Tahap persiapan penyusunan materi merupakan kegiatan persiapan konsep teknis RTRWKP. Diawali dengan pembentukan Tim Koordinasi Penataan Ruang Pesisir Kabupaten/Kota (TKPRPK) yang terdiri atas: pejabat daerah yang berhubungan dengan Tata ruang daerah; serta LSM, swasta, Perguruan Tinggi dan ‘stake holders’ lainnya.
Dilanjutkan dengan pembentukan Tim Pelaksana Penyusun RTRWKP yang menyiapkan penganggaran, administrasi, dan teknis penyusunan.

86. Tahap pelaksanaan penyusunan materi RTRWPK dilakukan oleh Tim Pelaksana. Penyusunan materi diawali dengan pengumpulan data dan informasi mengenai arah kebijaksanaan pembangunan, ekonomi wilayah, demografi, sosial kemasyarakatan, infrastruktur, sumberdaya alam, dan lingkungan. Kemudian dilakukan analisis dilanjutkan dengan perumusan konsepsi pengembangan meliputi tujuan, konsep dan strategi pengembangan wilayah yang kemudian dituangkan kedalam rencana tata ruang wilayah.

87. Tahap pembahasan materi dilakukan secara bertahap oleh Tim Koordinasi mulai dari laporan pendahuluan hingga laporan akhir. Laporan pendahuluan dibahas untuk memperoleh kesepakatan dalam perumusan methodologi, pengumpulan data, analisis, perumusan konsep, dan rencana. Laporan kemajuan dibahas guna memperoleh masukan, saran perbaikan. Sedangkan laporan akhir dibahas untuk memperoleh masukan dan saran penyempurnaan.

88. Tahap penetapan dan pengesahan RTRWPK melalui penetapan sebagai rancangan peraturan daerah. Hal ini dilakukan setelah konsep akhir tata ruang dipresentasikan dihadapan DPRD Kabupaten setempat.

89. Tahap pemasyarakatan rencana dilakukan pemerintah daerah melalui pengumuman dan penyebarluasan agar masyarakat terlibat sepenuhnya dalam perwujudan tata ruang.

90. Tahap pelaksanaan rencana merupakan pelaksanaan RTRWPK yang telah disahkan oleh Pemerintah Daerah yang digunakan sebagai pedoman bagi penyempurnaan dan pelaksanaan program pembangunan di setiap sektor. Rencana tersebut merupakan pedoman bagi penyusunan rencana pembangunan yang bersifat lebih operasional dan juga merupakan dasar bagi pemanfaatan ruang di daerah kabupaten bersangkutan.

91. Tahap pengendalaian rencana terdiri atas kegiatan pengawasan dan penertiban. Kegiatan pengawasan adalah kegiatan pemantauan dan pelaporan untuk menemukan dan mengenali permasalahan guna diperbaiki. Kegiatan evaluasi dimaksudkan untuk menghasilkan umpan balik dalam rangka penyempurnaan tata ruang yang sedang berjalan maupun masukan bagi penyempurnaan rencana. Sedangkan kegiatan penertiban dilakukan jika terjadi penyimpangan dari rencana yang ditetapkan.

BAB VII KELEMBAGAAN PENYUSUNAN RTRW PESISIR

7.1. PENYUSUNAN RENCANA

92. Dalam tahap persiapan penyusunan rencana dibentuk Tim teknis yang diketuai oleh pejabat kabupaten yang berhubungan dengan anggota berasal dari ‘stake holders’. Tugas dari Tim teknis ini adalah menyiapkan konsep kerangka acuan kerja yang dibantu oleh instansi teknis terkait; menyiapkan forum diskusi; menyiapkan rencana anggaran penyusunan RTRWPK; serta mengumpulkan informasi.

93. Tim teknis bertugas mengimplementasikan pedoman penataan ruang, merumuskan pendekatan, model dan analisis wilayah, serta menetapkan standar dan kriteria teknis ruang yang diperlukan, menyusun naskah akademik, dan menyusun rencana peraturan daerah RTRWPK.

94. Dalam pembahasan konsep materi teknis RTRWPK, Tim teknis bersama ‘stake holders’ memberikan masukan teknis sektoral dan teknis ruang, arahan substansial, menanggapi produk pada setiap tahapan serta menyampaikan saran penyempurnaan.

95. Tahap penetapan dilakukan oleh Tim teknis yang meliputi penyempurnaan materi teknis, menyusun naskah akademis, dan menyusun rancangan Peraturan Daerah. Sedangkan pengesahan Peraturan Daerah RTRWPK dilakukan oleh Bupati/Walikota setelah mendapat persetujuan DPRD setempat.

7.2. PEMANFAATAN RENCANA

96. Pemanfaatan rencana dilakukan oleh semua sektor, swasta, masyarakat, dan fihak yang terlibat dalam pembangunan yang memanfaatkan ruang pesisir.

7.3. PENGENDALIAN RENCANA
97. Pengendalian rencana meliputi:
i. Kegiatan pemantauan yang dikoordinasikan oleh Dinas yang berhubungan dengan Tata Ruang Kabupaten.
ii. Evaluasi dan peninjauan kembali RTRWPK yang dilakukan oleh Tim Teknis.
iii. Kegiatan penertibandilakukan oleh instansi/lembaga yang sesuai dengan fungsi, tugas dan kewenangan dalam bidang yang bersangkutan.

7.4.PERAN SERTA MASYARAKAT

98. Masyarakat dapat berperanserta pada tahap-tahap sebagai berikut:
1. Tahap persiapan penyusunan rencana tata ruang
a. pada tahap awal dimana disusun Tim pengadaan jasa konsultan atau Tim teknis pelaksana yang disahkan oleh Ka. Tim Teknis.
b. penyusunan kerangka dan finalisasi acuan tugas atau TOR bagi pelaksana
oleh Tim teknis.
2. Dalam tahap penyusunan rencana tata ruang, masyarakat terlibat dalam perumusan skenario pengembangan kawasan, identifikasi kawasan dan sektor-sektor strategis sehingga diperoleh masukan yang tepat guna pengambilan keputusan yang terbaik.
3. Tahap pengesahan rencana tata ruang, dalam tahap ini masyarakat langsung diwakili oleh wakilnya di DPRD guna menjadikan rencana tersebut menjadi Peraturan Daerah.

99. Kelembagaan partisipasi masyarakat sangat terkait dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Secara umum bentuk-bentuk kelembagaan partisipasi masyarakat dapat berupa forum adat/lokal. Masyarakat yang berpartisipasi dalam forum adat secara aktif ikut serta dalam:
- perumusan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan;
- penyusunan rencana tata ruang;
- pemrograman dan pembiayaan pembangunan;
- pelaksanaan dan pengemdalian pembangunan

100. Forum adat/lokal bukan merupakan lembaga formal, dengan demikian keberadaan anggotanya sangatlah dinamis dan terbuka bagi seluruh warga. Anggotanya dapat berupa tokoh masyarakat, ketua adat, pemerhati lingkungan, atau masyarakat sebagai individu. Bentuk kelembagaan forum adat sangat fleksibel tergantung tingkatan rencananya. Pada tingkatan rencana yang lebih rinci (tingkat desa), bentuk partisipasi masyarakat dapat dilakukan pada forum yang lebih kecil berupa pertemuan warga (community meeting).


DAFTAR PUSTAKA

1. PPK-ITB dan Ditjend P3K-DKP, 2000, Penyusunan Pedoman Pulau-Pulau Kecil, laporan akhir.
2. Commonwealth of Australia, 1998, Australia’s Oceans Policy – Caring, Understanding, and Using wisely.
3. JICA, DKP, and BAPPEDA North Sulawesi Province, 2001, The study on the integrated coral reef management plan; Interim report; Pacific Consultants International.
4. Dahuri R et.al, 1996; Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
5. 5. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Bidang Pekerjaan Umum, : Undang-Undang Republik Indonesia No. 24/1992 tentang Penataan Ruang,
6. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Bidang Pekerjaan Umum,…..; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 47/1997 tentang Rencan Tata Ruang Wilayah,……
7. Soegijoko BTS, 2001; Penataan Ruang dalam era Otonomi Daerah, Bahan kuliah pada Program MPKD Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
8. Canora Asia Inc,….; Spatial Planning and Natural Resources Management, Volume 1.
9. Kasmidi M et.al, 2001; Proses penyusunan dokumen rencana pengelolaan tingkat desa Sulawesi Utara, dalam Sondita MFA et.al (Eds), Pelajaran dari Pengalaman Proyek Pesisir 1997-2001, Prosiding Lokakarya Hasil Pendokumentasian Kegiatan Proyek Pesisir, Kerjasama PKSPL-IPB dengan Coastal Resources Center-University of Rhode Island.
10. Adi HS et.al, 2001; Proses penyusunan rencana strategis pengelolaan pesisir Lampung, dalam Sondita MFA et.al (Eds), Pelajaran dari Pengalaman Proyek Pesisir 1997-2001, Prosiding Lokakarya Hasil Pendokumentasian Kegiatan Proyek Pesisir, Kerjasama PKSPL-IPB dengan Coastal Resources Center-University of Rhode Island.
11. Dharmawan AS et.al, 2001; Proses penyusunan rencana pengelolaan Teluk Balikpapan dalam, Sondita MFA et.al (Eds), Pelajaran dari Pengalaman Proyek Pesisir 1997-2001, Prosiding Lokakarya Hasil Pendokumentasian Kegiatan Proyek Pesisir, Kerjasama PKSPL-IPB dengan Coastal Resources Center-University of Rhode Island.
12. Suwandono D, 2000; Pendekatan perencanaan Tata Ruang kawasan Pesisir dan pantai, dalam ‘Temu Pakar Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir’, Ditjend. P3K, Departemen Kelautan dan Perikanan.
13. Bengen DG, 2000; Penentuan dan Pengelolaan Kawasan Lindung di Pesisir, Laut, dan Pulau-pulau Kecil; dalam ‘Temu Pakar Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir’, Ditjend. P3K, Departemen Kelautan dan Perikanan.
14. Dahuri R, 2000; ‘Konsepsi Pendekatan Penataan Ruang dalam menunjang pembangunan berkelanjutan wilayah Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil; dalam ‘Temu Pakar Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir’, Ditjend. P3K, Departemen Kelautan dan Perikanan.
15. Darwanto H, 2000; ‘Mekanisme Pengelolaan Penataan Ruang wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil serta hubungan dengan RTRWN, RTRWP, RTRW KABUPATEN/KOTA; dalam ‘Temu Pakar Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir’, Ditjend. P3K, Departemen Kelautan dan Perikanan.
16. Carter J, 2000; ‘Community-Based Coastal Rehabilitation A Case Study at Pantai Tokke-Tokke, South Sulawesi, Indonesia’; Canora (Asia) Incorporated, Montreal.
17. Carter RWG (1988); Coastal Environment: An introduction to the physical, ecological, and cultural systems of coastline, Academic Press, London.
18. Suhardi I, 2000; Development of Coastal Geomorphological Method analysis with reference two selected Indonesian coasts, PhD Thesis, the University of Portsmouth, United Kingdom.
19. Komar PD, 1998; Beach Processes and Sedimentation, Prentice Hall, New Jersey.
20. MAFF, 1995; Shoreline Management Plans: A Guide for Operating Authorities; Ministry of Agriculture Fisheries and Foods & Welsh office, London.
21. Pethick J, 1984; An introduction to Coastal Geomorphology, Edward Arnold, London.
22. Undang-undang Republik Indonesia No.22, 1999 tentang Pemerintah Daerah; http//www.berpolitik.com.
23. House of Common Environment Committee, 1992; Coastal Zone Protection and Planning, vol.1 (report: HC 17-1), vol.2 (Evidence and Appendices: HC 17-2), HMSO, London.
24. Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, PT. Pabelan, Jakarta.
25. Office of Coastal Zone Management, NOAA, 1979; The Virgin islands Coastal Management Program and Final Environmental Impact Statement.
26. Office of Coastal Zone Management, NOAA, 1979; State of North Carolina Coastal Management Program and Final Environmental Impact Statement.
27. Dit. Penataan Ruang Nasional, 2001; Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, Draft.
28. Dit. Penataan Ruang Nasional, 2001; Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, Draft.
29. Dit. Penataan Ruang Nasional, 2001; Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan, Draft.
30. Adibroto T, 2001; Personal communication.
31. Knight M, 2001; Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu: Pengalaman Amerika Serikat, Lokakarya konsultasi pengelolaan wilayah pesisir (15 Agustus 2001)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar